Saturday 4 July 2015

Kisah Sukses Deny menjual Kek Pisang Villa 3Tahun 2006, ia berhenti dari pabrik dan menjadi wirausaha. Sepanjang tahun itu, ia mencoba berbagai jenis usaha. ”Prinsipnya, saya mencari usaha yang arus kasnya harian. Saya mencoba sembilan jenis usaha dari berjualan kue, membuka rumah makan, sampai menjadi EO (event organizer),” ujarnya.

Sampai tahun 2006, Denni Delyandri (32) menjadi karyawan dengan penghasilan maksimal Rp 2,5 juta per bulan. Kini, ayah tiga anak itu menjadi direktur perusahaan beromzet harian rata-rata Rp 100 juta.

Rezeki itu ia bagi dengan 220 karyawan di Batam, Kepulauan Riau, dan Pekanbaru, Riau. Suami Selvi Nurlia itu juga membagi rezeki itu dengan sedikitnya 80 UKM yang bermitra dengan perusahaannya, CV Media Kreasi Bangsa (MKB).

Lewat perusahaan itu, Denni menjual Kek Pisang Villa di Batam dan Viz Cake di Pekanbaru. CV MKB membuka delapan gerai di penjuru-penjuru Batam untuk memasarkan aneka produk Kek Pisang Villa.

Sementara di Pekanbaru ada empat gerai memasarkan Viz Cake. Selain Kek Pisang Villa dan Viz Cake, gerai-gerai itu juga menjual aneka produk UKM mitra CV MKB. ”Saya menyiapkan perusahaan baru untuk memudahkan ekspansi usaha,” ujar Denni.

Kisah Sukses Deny menjual Kek Pisang Villa 1Pencapaian Denni tidak dalam semalam. Ia giat berdagang aneka produk buatan sendiri sejak masih menjadi karyawan. Namun, hasilnya tidak maksimal. Denni juga harus berkonsentrasi dengan pekerjaan di pabrik. Selain itu, modalnya juga tidak banyak.

Februari 2007, ia dan istri mulai membuat bolu pisang dengan nama Banana Cake. Selvi mengurusi produksi dan Denni memasarkan. ”Kami mencoba berbagai resep makanan. Kebetulan istri hobi memasak. Setelah mencoba berbagai jenis, cake pisang ini yang paling diterima pasar,” ujarnya.

Mereka memulai usaha dari rumah sederhana di kawasan Batu Aji di pinggiran Batam. Alat produksi awalnya adalah mesin pengaduk kecil, kompor minyak tanah, dan oven kecil. ”Kami memulai dengan 2 kilogram pisang sehari. Rata-rata dibuat 40 kotak kue sehari karena kapasitas produksi terbatas,” tutur alumnus Universitas Andalas, Padang, itu.

Sebagian kue itu dipasarkan dalam bentuk potongan ke warung-warung. Sebagian lagi dipasarkan dalam bentuk utuh dari pintu ke pintu. ”Saya memasarkan ke tetangga, kenalan, atau kantor. Saya membuat brosur yang dibagikan di pabrik-pabrik,” ujarnya.

Hampir lima bulan Denni melakukan pola itu. Selama proses itu, ia melihat banyak wisatawan datang ke Batam, baik transit maupun berwisata di Batam. Namun, Batam belum punya oleh-oleh khas. ”Kota lain punya makanan khas sebagai oleh-oleh. Yogya punya bakpia, Bandung dengan brownies,” ujarnya.

Kisah Sukses Deny menjual Kek Pisang Villa 2Juli 2007, Deni membuat keputusan, mengubah nama produk dan meminjam uang untuk tambah modal. ”Kami mulai pakai nama Kek Pisang Villa. Saya ambil pinjaman tanpa agunan Rp 40 juta. Sebagian untuk sewa ruko, sisanya untuk beli oven lebih besar, tambah kapasitas produksi,” ujarnya.

Ruko itu berada di bagian depan kompleks tempat Denni tinggal. Lantai satu dijadikan toko dan lantai dua dijadikan pabrik. Di lokasi baru, kapasitas produksi naik jadi 100 kotak per hari. ”Waktu itu, usaha mulai lebih lancar dan kami meningkatkan promosi untuk menjadikan produk sebagai oleh-oleh khas Batam. Pinjaman pertama saya lunasi dalam delapan bulan,” tuturnya.

Namun, usaha Denni tetap ditentang orangtuanya. Ia dan istrinya memang berasal dari keluarga tanpa dasar wirausaha. ”Saya masih disuruh mendaftar ke salah satu BUMN saat omzet sudah Rp 70 juta per bulan. Namun, saya teruskan jadi wirausaha,” katanya.

Tambah kapasitas

Juni 2008, Denni mendapat kredit usaha rakyat Rp 500 juta. Pinjaman tanpa agunan tersebut memungkinkan ia mengembangkan sayap. Ia menambah dua gerai di pusat kota dan satu lagi di kawasan pinggiran. Pabrik dipindahkan dari kawasan Batu Aji ke gerai baru di Batam Center. Pabrik itu memasok produk untuk gerai di Batu Aji, Penuin, Tiban, Nagoya, dan Bandara Hang Nadim.

Produknya makin dikenal dan jadi oleh-oleh utama di Batam. Wisatawan asing dan domestik kerap membawa Kek Pisang Villa sebagai oleh-oleh. Peserta acara-acara di Batam kerap membawa berkardus-kardus Kek Pisang Villa saat meninggalkan Batam.

Terkadang panitia membantu. Kerap pula peserta memburu sendiri di sejumlah gerai CV MKB. Denni juga mengirimkan tim penjual ke lokasi acara. Cara penjualan jemput bola itu dipertahankan sampai sekarang.

Kisah Sukses Deny menjual Kek Pisang Villa 4Dengan berbagai kombinasi pemasaran dan penjualan itu, sekarang rata-rata terjual 2.500 kotak per hari pada hari biasa. Pada musim liburan, gerai-gerai Denni bisa menjual hingga 3.500 kotak kue per hari. Dengan harga minimal Rp 35.000 per kotak, Denni meraup Rp 87,5 juta per hari dari penjualan kue saja, belum dari penjualan aneka produk UKM mitra CV MKB. ”Sekarang kami tidak beli pisang di pasar. Kami ambil pisang dari Medan, Sumatera Utara. Saya tidak ingat berapa ton per bulan,” tuturnya.

Pundinya tidak hanya terisi dari gerai di Batam. Tahun lalu, Denni melebarkan sayap ke Pekanbaru. Di sana, ia mengolah durian menjadi aneka jenis kue dengan merek Viz Cake. ”Durian bisa didapat kapan saja. Namun, belum ada produk olahan berupa kue durian. Saya masuk di celah itu,” ujarnya.

Dalam setahun, Viz Cake berkembang pesat. Kini, empat gerai dibuka di Pekanbaru dengan penjualan harian rata-rata 500 kotak.

Kini, Denni tidak lagi mengurus sendiri usahanya. Operasi sehari-hari diserahkan kepada profesional. Ia berkonsentrasi pada strategi pengembangan.

Meski sudah sukses, Denni tetap sederhana. Jika ke kantor, ia kerap hanya menggenakan kaus, celana jeans, dan sandal. Sepintas ia tak terlihat sebagai pengusaha muda dengan omzet rata-rata Rp 3 miliar per bulan

Bambang Suparno (49), warga Dusun Jeruk, Desa Tugurejo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, ini patut diacungi jempol. Dari usahanya berdagang kerupuk goreng pasir, mantan buruh migran ini dapat mengantongi omzet hingga Rp 90 juta per bulan.

Pekerjaan yang dilakukan Bambang adalah menggoreng kerupuk tanpa minyak. Ia mengganti minyak goreng dengan pasir halus hasil penyaringan. Dengan bantuan pengapian, kerupuk tetap mekar. Cara penggorengan inilah yang membuat jenis kerupuk ini disebut kerupuk padang pasir.

Kerupuk yang digoreng dengan teknik ini rasanya akan sedikit berbeda jika dibandingkan dengan yang menggunakan minyak goreng. Kelebihan lain adalah rendah kolesterol dan tentu saja lebih hemat dalam menekan biaya produksi. Bahkan, risiko untuk melempem dapat ditekan karena dapat didaur ulang.

Varian rasanya juga bernacam-macam. Setidaknya ada tujuh rasa yang dibuat oleh pria yang memulai usahanya sejak tahun 2001 ini. Ada rasa pedas, manis, pedas manis, terasi, rujak, seledri, bawang, serta ubi. Pemberian rasa dilakukan dengan dua cara, yaitu bumbu dicampur dengan kerupuk sebelum digoreng atau dicampur setelah digoreng.

Kerupuk yang selesai digoreng kemudian dikemas dalam plastik ukuran setengah kilogram dan panjang 30-40 sentimeter. Setiap bungkus ukuran besar ia jual seharga Rp 1.000-Rp 2.500. Tiap rasa juga memengaruhi harga.

Kerupuk yang sudah dikemas kemudian dikirim kepada agennya yang tersebar di beberapa kota, seperti Kediri, Nganjuk, Kertosono, Jombang, Bojonegoro, Tuban, Ngawi, Malang, dan Sidoarjo. Agen tersebut adalah pedagang di pusat oleh-oleh di kota masing-masing.

Bisnis Kerupuk Padang Pasir1Bambang termasuk pengusaha yang ulet dalam bekerja. Untuk usahanya itu, ia hanya mempekerjakan empat tenaga pria yang bertugas mulai dari menjemur kerupuk hingga menggoreng. Pengemasan dilakukan oleh istri dan enam anaknya serta beberapa tenaga borongan yang juga para tetangganya.

“Kalau saya sendiri bertugas di pengaturan serta pengiriman barang ke kota-kota,” kata pemilik usaha penggorengan kerupuk padang pasir dengan merek Arofah ini, Senin (4/6/2012). Perkembangan usahanya lumayan bagus. Pada awal memulainya, ia hanya memproduksi 30 kilogram kerupuk dan itu pun untuk beberapa hari. Karena permintaan yang selalu ada, ia terus terpacu untuk mengembangkan usahanya sehingga kini produksi per hari mencapai 2,5 kuintal.

“Kalau tentang omzet begini saja, harga bahan kerupuknya per kilo Rp.12.000, lalu kalikan 250 kilogram, dikali lagi selama 30 hari. Berapa itu hasilnya, silakan dikira-kira sendiri,” ungkapnya.

Menemukan jenis usaha ini bukanlah jalan yang mudah baginya. Beberapa profesi pernah ia jalani, mulai dari kuli bangunan di negeri seberang hingga penjual bakso keliling. Pernah pula ia hendak berdagang oli pelumas sesuai ajakan rekannya, tetapi urung dilakukan karena khawatir dengan risikonya.

“Saya berjualan kerupuk karena melihat saudara saya ada di bidang ini. Setelah saya pelajari, saya menjadi yakin sehingga saya ikut terjun,” tutur Bambang sambil mengingat masa lalunya.